
pasar saham
Gue masih inget banget gimana paniknya orang-orang pas awal pandemi. Semua serba gak pasti, dan pasar saham? Jatuh bebas.
Waktu itu, gue nekat beli beberapa saham blue chip yang harganya anjlok. Jujur aja, tangan gemeteran sih pas klik beli. Tapi, siapa sangka dua tahun kemudian, nilainya udah naik dua kali lipat. Bahkan ada yang tiga kali lipat.
Ketika Dunia Panik, Pasar Saham Menyusun Kekuatan
Maret 2020, indeks pasar saham di seluruh dunia turun tajam. Di AS, S&P 500 turun lebih dari 30% dalam waktu sebulan. Di Indonesia, IHSG jatuh ke bawah 4.000 poin yang sebelumnya hampir 6.300-an.
Gue waktu itu bingung. Di satu sisi, logika bilang, Jangan beli apa-apa pas krisis. Tapi gue juga inget pepatah Warren Buffett Be fearful when others are greedy, and greedy when others are fearful.
Akhirnya, gue nyemplung. Sedikit demi sedikit, beli saham-saham yang kayaknya bakal bertahan jangka panjang: perbankan, telekomunikasi, konsumer.
Pelajaran Berharga dari Pasar Saham Pasca Pandemi
Gue belajar, kita gak akan pernah bisa timing the market dengan sempurna. Tapi kalau punya strategi dollar cost averaging (nyicil beli saham secara rutin), itu jauh lebih aman secara psikologis.
Temen gue yang baru masuk pasar pasca-2020 dan konsisten beli tiap bulan sekarang udah nikmatin return yang lumayan. Bahkan lebih baik daripada yang sok-sok “nunggu harga bawah.
Sekarang, Pasar Masih Menjanjikan?
Menurut gue, peluang di pasar saham masih terbuka lebar. Tapi kita udah masuk ke fase yang butuh lebih banyak analisis dan kehati-hatian.
Gak bisa lagi asal tebak dan berharap untung. Apalagi sekarang geopolitik makin panas, suku bunga fluktuatif, dan banyak ketidakpastian global. Tapi justru karena itu, investor ritel punya kesempatan emas buat ambil posisi saat “smart money” masih wait and see.